Sukses Dalam Dunia Arsitektur – Sebuah Ilusi Pikiran?


oleh erwin4rch
(Terima kasih kepada Pak Putu Mahendra yang telah memberikan saya inspirasi tulisan ini)
Pada jaman dahulu kala…. (seperti di film-film saja)
Ketika saya baru selesai kuliah, baru lulus, masih bau kencur. Saya sempat bekerja di beberapa rekan arsitek profesional. Tentunya bekerja sambil belajar menjadi motto saya waktu itu. Tidak terasa kuliah selama 4 tahun, ketika lulus, terasa tidak punya kemampuan apa-apa pada bidang arsitektur. (Padahal kuliahnya jurusan arsitektur).
Pengalaman yang didapatkan di dunia kerja jauh lebih mantap dan lebih maut.
Saya masih ingat seorang senior saya pernah memberikan wejangan. Beliau lulusan S2. Begini katanya : “Win, janganlah menilai kesuksesan saya sekarang. Bagi orang-orang awam, saya ini ibarat dewa, orang pintar. Proyeknya banyak, sudah punya kantor, kerjaan datang dengan sendirinya (siapa yang tidak mau?)”. Saya hanya menatapnya sambil termangu.
Kemudian beliau melanjutkan lagi : “Tapi bila anda perhatikan saya pada jaman dulu, benar-benar perjuangan sampai tetes darah penghabisan! Dihina habis-habisan pun pernah. Lulusan S2 kok presentasinya seperti ini. Waduh malu-maluin. Tidak sepadan dengan titlenya. Kerjaan tidak dibayar? Wow, saya sudah kenyang. Sampai seperti rentenir menagih hutang (padahal yang ditagih bayaran yang tak kunjung lunas). Saya masih dalam posisi termangu waktu itu..
Satu hal yang saya pikirkan waktu itu, : “Bagaimanakah rasanya berada di puncak?, berarti lama ya? Perjalanan menuju ke sana…”. (Dasar anak bau kencur..)
Kemarin, saya berkesempatan membaca tulisan dari Pak Putu di websitenya.. Disana, beliau menuliskan pertemuannya dengan Pak Sonny Sutanto. (Arsitek kondang di Jakarta).
Yang membuat saya kembali merenung adalah ketika mereka membicarakan tentang keadaan di posisi stabil. Keadaan tersebut adalah sebuah posisi level tertinggi yang dicapai oleh seorang arsitek. Seperti Frank Gehry yang telah stabil dengan garis garisnya. dengan ide idenya. Seperti Tadao Ando yang luar biasa, seperti  Paul Rudolf dengan pemikirannya, dan seperti arsitek-arsitek papan atas lainnya.
Adalah sebuah hal yang lucu bahwa ternyata jalan pikir saya hampir sama dengan Pak Putu. Setelah berkarya di dalam dunia arsitektur selama beberapa waktu, saya mulai merasakan bahwa di dunia arsitektur tidak ada yang namanya posisi stabil.
Berbeda dengan ekonomi, dimana ketika awal membuka usaha kita menggunakan dana kita sendiri atau meminjam ke bank. Setelah sukses, kita akan sampai pada yang orang ekonomi istilahkan Break Even Point. Dengan demikian, posisi stabil telah dicapai dan berikutnya adalah “harta karun” yang berdatangan. Beban pikiran lebih ringan bila dibandingkan masa-masa awal usaha. Bagi saya, kondisi saat itu adalah kondisi stabil.
Dunia arsitektur adalah dunia seni dan teknik. Sebuah dunia dimana puisi dipadukan dengan beton & baja. Tentunya sebuah desain tidak dapat bersifat “Pabrikan”. Faktor ini menyebabkan arsitek pada posisi puncak akan selalu berinovasi untuk mencari sesuatu yang lebih dari yang dahulu.
Mencari dan mencari lagi… tak ada akhirnya.
Artinya apa? Artinya kita siap lagi pada titik 0. Back from the start. Bila mengutip tulisan pak Putu dalam websitenya adalah demikian :
…artinya kita siap mental untuk memulai lagi dari titik nol. berada di posisi risk, artinya kita bisa melihat diri kita dari sudut yang berbeda untuk mendapatkan sebuah kekuatan lain yang masih tersembunyi yang bisa memperkaya apa yang telah kita buat. berada di posisi risk, berarti kita musti bisa berkreasi sekreative mungkin bertelur sesering mungkin tanpa adanya proses “revetisi” desain. revetisi garis, titk dan ruang DNA desain yang telah dipakai.
Pak Putu dengan lugasnya memaparkan bahwa dengan mencoba berinovasi, seseorang secara psikologi merasa di-nol-kan lagi. Bahwa masih banyak yang harus dicapai. Masih banyak perjuangan yang harus dikeluarkan. Masih banyak keringat yang akan mengucur.
Saya juga baru paham, kantor akuntan publik dapat dengan nyaman melakukan kegiatan dan tindakan rutin yang sama setiap harinya, setiap bulannya, setiap tahunnya. Proses rutinitas, pengurusan SPP, PPn & PPh merupakan sebuah “program baku” bagi pikiran manusia. Tinggal diulang, diulang diulang terus menerus